PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN MASYARAKAT (PKM) MODEL KUBUS (Kampung Belajar Usaha) di PAPUA
Oleh: M. Agus Sulaiman, S.Pd.*
PENGEMBANG PROGRAM PAUD DIKMAS
Terbatasnya lembaga penyelenggara program PKM di Kampung baik dari segi kuantitas maupun kualitas, tentu menjadi persoalan bagi masyarakat sasaran dalam memperoleh akses kursus atau pelatihan. Khususnya pelayanan pendidikan kewirausahaan dan keterampilan usaha. Untuk mengatasi persoalan tersebut diperlukan suatu alternatif solusi. Solusi yang ditawarkan adalah pembentukan pengelola KUBUS di kampung sebagai organisasi penyelenggara program PKM.
Penelitian ini bertujuan memberikan acuan pembentukan pengelola KUBUS dan pembelajaran program PKM.

Kata kunci: Kampung, Belajar, Usaha
Pengangguran terbuka di Papua sesuai data BPS bulan Agustus tahun 2012 sebesar 57,501 atau sebesar 3,63% dari jumlah angkatan kerja sebesar 1,58 juta jiwa. Sebagian besar penggangguran berada di kampung/desa. Jika dilihat dari latar belakang pendidikan para penganggur tersebut, 18,76% berpendidikan SD kebawah, 10,39% berpendidikan SMTP, 36,34% berpendidikan SMTA Umum, 16,95% berpendidikan SMK, 4,01% berpendidikan Diploma, 13,52% berpendidikan Universitas.
Berkenaan dengan persoalan tersebut, maka pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (Ditjen PAUDNI) mengambil peran dalam mengurangi pengangguran melalui program PKM (Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat). PKM adalah program pelayanan pendidikan kewirausahaan dan keterampilan usaha yang diselenggarakan oleh lembaga kursus dan pelatihan (LKP), atau satuan PNF lainnya dan organisasi kemasyarakatan atau organisasi sosial yang menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan dan peluang usaha yang ada di masyarakat.
Namun program PKM tidak dapat dilaksanakan secara merata di kampung-kampung, oleh karena sebagian besar lembaga penyelenggara berada di kota. Misalnya: (1) Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), (2) Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), (3) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), (4) Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) dengan segala keterbatasan yang dimiliki.
Di Papua sendiri lembaga tersebut jumlahnya masih sedikit, hanya 351 lembaga dari 4.766kampung yang membutuhkan layanan program PKM. LKP 77 lembaga, PKBM 268 lembaga dan SKB/BPKB 6 lembaga. Disparitas antara kurangnya lembaga penyelenggara dengan banyaknyakampung yang tersebar di pulau-pulau dan pegunungan, menjadi permasalahan kompleks dalam memberikan layanan program PKM bagi masyarakat kampung.     
Apabila kondisi ini dibiarkan secara terus menerus, tanpa ada jalan keluar dari pihak terkait. Maka masyarakat sasaran sulit untuk memperoleh akses pendidikan pada program PKM.
Lembaga penyelenggara yang tidak berkedudukan di kampung memiliki kendala tersendiri untuk menyelenggarakan program PKM di kampung. Misalnya terbatasnya biaya penyelenggaraan dan beban waktu pembelajaran minimal 200 jam atau 25 hari yang harus dituntaskan oleh lembaga penyelenggara. Belum lagi proses pendampingan usaha minimal 3 bulan setelah pembelajaran selesai. Apabila lembaga penyelenggara tidak berkedudukan di kampung, tentunya program PKM sulit untuk diselenggarakan, kendatipun dapat diselenggarakan hasilnya kurang optimal. Hal tersebut juga perlu menjadi perhatian untuk menemukan alternatif  solusinya.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang menjadi bagian awal dari studi pengembangan ini menunjukkan adanya data dan fakta yang menarik. Penyelenggaraan program PKM, hanya sekedar membentuk kompetensi vokasional (keterampilan) saja. Padahal yang lebih terpenting peningkatan kompetensi kewirausahaan agar kelompok usaha yang dibentuk dapat berjalan secara optimal. Artinya masyarakat sasaran mendapatkan solusi, dari masalah yang sedang dihadapi.
Namun tak dapat disangka, sebagian besar produk barang kelompok usaha hasil program PKM tidak laku jual. Hal demikian terjadi karena perencanaan usaha hanya terfokus pada kegiatan produksi, dan mengabaikan strategi pemasaran. Padahal strategi pemasaran sangat diperlukan agar barang yang dihasilkan diminati, dibutuhkan, dan dibeli oleh konsumen. Oleh karena itu,harus mengetahui keadaan pasar dan konsumen ketika merintis suatu usaha, atau perlu meneliti kebutuhan dan keinginan konsumen.
Strategi usaha yang cocok dengan konsep tersebut adalah memproduksi barang dan jasa yang dapat dijual, dan bukan menjual barang dan jasa yang dapat diproduksi.
Lebih lanjut dari hasil studi pendahuluan, penyebab masyarakat di kampung “malas” berwirausaha, karena daya beli di kampung rendah dan pelaku usaha kurang percaya diri memasarkan produk-produk di kota. 
*Penulis adalah Pamong Belajar Pertama BP-PAUD dan DIKMAS Papua

Komentar