PENDIDIKAN KECAKAPAN KERJA (PKK) MERUPAKAN KEBIJAKAN YANG AKAN MENYEJAHTERAKAN MASYARAKAT

Oleh: M. Agus Sulaiman, S.Pd*


Hingga saat ini bangsa indonesia masih dililit persoalan pengangguran yang luar biasa. Menurut laporan Biro Statistik (2010) 7,41% atau 8.595.600 orang dari angkatan kerja pada tahun 2010 (februari) sebanyak 116.000.000 orang merupakan pengangguran terbuka. Menurut Edwards pengangguran terbuka adalah mereka yang benar-benar tidak bekerja, baik secara sukarela maupun paksaan. Selain itu, dalam waktu yang sama, juga terdapat pengangguran dengan kategori setengah pengangguran sebanyak 32,8 juta orang kategori pengangguran jenis ini adalah para pekerja yang jumlah jam kerjanya lebih sedikit dari yang sebenarnya mereka inginkan.
Urgensi kebijakan Pendidikan Nonformal
Fenomena di atas menunjukkan gejala faktual yang menunjukkan bahwa masyarakat sangat membutuhkan pendidikan nonformal, terutama untuk memenuhi tuntutan kebutuhan kerja yang mensyaratkan berbagai spesifikasi pekerjaan. Kondisi ini muncul karena jalur pendidikan formal tidak sanggup memberikan bekal keterampilan atau kecakapan kerja kepada para alumninya sesuai spesifikasi pakerjaan yang dipersyaratkan dunia kerja, sehingga memerlukan kontribusi jalur pendidikan nonformal untuk memberikan tambahan keterampilan/kecakapan.
Fakta fenomenal inilah yang menuntut kehadiran kebijakan pendidikan nonformal, terutama untuk memadati dan memenuhi kebutuhan keterampilan dan kecakapan kerja yang dipersyaratkan dunia kerja. Dengan kondisi seperti ini, maka kebijakan pendidikan nonformal merupakan urgensi yang tidak mungkin di tunda kehadirannya berikut aplikasinya dilapangan.
Urgensi ini pulalah yang mendorong penulis untuk memperkenalkan implikasi kebijakan pendidikan nonformal melalui pendidikan kecakapan hidup (PKH), sekedar sebagai rujukan tambahan yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk membantu penyelenggaraan pendidikan nonformal.
Pokok-pokok kebijakan pendidikan nonformal
Dalam pokok-pokok kebijakan pembangunan pendidikan nonformal juga disebutkan bahwa kelembagaan kursus dan kursus para profesi yang berorientasi pada peningkatan kecakapan hidup yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat serta pelayanan yang semakin meluas, adil dan merata, khususnya bagi penduduk miskin dan pengangguran terdidik, dapat bekerja dan/atau berusaha secara produktif, mandiri, dan profesional.
Sejalan dengan hal itu, maka pembangunan pendidikan nonformal antara lain bertujuan agar: terwujudnya kelembagaan kursus dan pelaksanaan kursus para profesi yang bermutu dan berorientasi kecakapan hidup, khususnya bagi penduduk penganggur usia produktif untuk dapat bekerja dan/atau berusaha secara produktif, mandiri, dan profesional.
Dalam kebijakan ini ditegaskan bahwa penyelenggaraan kursus diorientasikan pada upaya peningkatan kecakapan hidup yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam Renstra Diektorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah 2005-2009 antara lain dinyatakan bahwa program kursus dan PKH; target yang harus dicapai adalah membelajarkan penduduk dewasa yang menganggur, miskin, dan/atau tidak terampil sebanyak 1,5 juta orang.
Untuk mencapai target tersebut, maka program dan/atau kegiatan pendidikan nonformal yang baik memiliki lima kriteria yang bisa disingkat dengan SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic, Timebound). Kriteria tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan indikator kinerja pendidikan nonformal yang terukkur dan yang dapat dicapai sebagai target/sasaran masing-masing program. Secara umum, terdapat empat jenis indikator kinerja yang biasa digunakan sebagai acuan dalam pemantauan dan evaluasi atau pengukuran kinerja organisasi, yaitu:
Pertama, indikator masukan, yang mencakup antara lain kurikulum, siswa, dana, sarana dan prasarana belajar, data dan informasi, pendidik dan tenaga kependidikan, tempat belajar kelompok belajar, sumber belajar, motivasi belajar, kesiapan warga belajar (fisik dan mental) dalam belajar, kebijakan dan peraturan serta perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, indikator proses, yang meliputi antara lain lama waktu belajar, kesempatan mengikuti pembelajaran, lama mengikuti pendidikan, efektivitas pembelajaran, mutu proses pembelajaran, dan metode pembelajaran yang digunakan.
Ketiga, indikator keluaran, yang terdiri antara lain jumlah warga belajar yang lulus, nilai rata-rata ujian, mutu lulusan, dan jumlah warga belajar yang menyelesaikan pembelajaran berdasarkan jenis kelamin.
Keempat, indikator dampak, yang antara lain berupa kemampuan/ jumlah warga belajar yang melanjutkan pada jenjang pendidikan nonformal, jumlah warga belajar yang bisa bekerja di perusahaan atau usaha mandiri, jumlah angkatan kerja berdasarkan tingkat pendidikan, dan pengaruh para lulusan terhadap mutu angkatan kerja/lingkungan sosial, peran serta peserta didik atau peran lulusan pendidikan dan pelatihan terhadap kehidupan masyarakat secara luas.
Kecakapan hidup dalam perspektif Pendidikan Nonformal
Kecakapan hidup dapat dikelompokkan dalam lima aspek yaitu: (1) kecakapan mengenal diri atau kemampuan pribadi, (2) kecakapan sosial atau kecakapan antar pribadi, (3) kecakapan berpikir rasional, (4) kecakapan akademik, dan (5) kecakapan vokasional, yang dilakukan pada jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah dengan penekanan yang berbeda pada setiap jenjangnya. Pada umumnya untuk jenjang pendidikan dasar penekanannya pada kecakapan-kecakapan seperti kolaboratif, sementara untuk kecakapan vokasional diberikan pada jenjang pendidikan menengah dan yang lebih tinggi serta pada kelompok penduduk dewasa.
Dalam konteks ini program pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat memberikan bekal keterampilan yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Kecakapan hidup ini memiliki cakupan yang luas, berinteraksi antara pengetahuan yang diyakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih mandiri.
Apabila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu, kecakapan hidup dalam lingkup pendidikan nonformal ditujukan pada penguasaan keterampilan kejuruan (vocational skills), yang intinya terletak pada penguasaan khusus untuk keterampilan tertentu (specific occupational job). Dikemukakan oleh anwar bahwa kecakapan hidup dalam konteks kepemilikan keterampilan khusus (specific occupational job) sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini artinya bahwa program kecakapan hidup dalam pemaknaan program pendidikan nonformal diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri mencari nafkah dalam konteks peluang yang ada di lingkungannya.
Pada dasarnya kecakapan hidup membantu peserta didik dalam mengembangkan kemampuan belajar (learning how to learn), menghilangkan kebiasaan dan pola pikir yang tidak tepat (learning how to unlearn), menyadari dan mensyukuri potensi diri untuk dikembangkan dan diamalkan, berani menghadapi masalah kehidupan, dan memecahkannya secara kreatif.
Pendidikan kecakapan hidup memiliki beberapa prinsip penting yang membedakan dengan jenis penadidikan lain, yaitu: (1) etika sosio-religius bangsa sehingga dalam implementasinya harus didasarkan pada nilai-nilai pancasila secara terintegrasi, (2) pembelajaran menggunakan prinsip belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do), belajar menjadi seseorang (learning to be), belajar hidup bersama (learning to live together) dan belajar bekerjasama (learning to cooperate), (3) pengembangan potensi wilayah, (4) penetapan manajemen berbasis masyarakat, (5) paradigma belajar hidup (learning for life) dan sekolah untuk bekerja (school for work) dapat menjadi dasar kegiatan pendidikan, (6) penyelenggaraan pendidikan harus senantiasa mengarahkan peserta didik agar:
a. Membantu untuk menuju hidup sehat dan berkualitas,
b. Mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas,
c. Dan, memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidup secara layak.
Implikasi: kesejahteraan
Keberhasilan kebijakan pendidikan nonformal dalam memberikan kecakapan hidup bagi warga masyarakat akan berimplikasi nyata pada kecakapan hidup bagi warga masyarakat akan berimplikasi nyata pada kehidupan riil warga masyarakat. Ketika warga masyarakat memiliki kecakapan hidup, maka mereka akan dapat bekerja atau membuka usaha secara mandiri. Melalui kerja dan usaha itu, kesejahteraan mereka akan terangkat, bahkan kondisi sosial ekonomi keluarga juga akan menjadi lebih baik. Bahkan, dengan kerja dan usaha tersebut, angka pengangguran juga tereduksi, jumlah kemiskinan berkurang, dan potensi terjadinya patologi sosial akibat kemiskinan akan semakin jauh dari kenyataan.
Dengan demikian, kebijakan pendidikan nonformal memiliki nilai strategis bagi kehidupan warga masyarakat, sehingga perlu diformulasikan, diimplementasikan dan dievaluasi sebaik mungkin agar betul-betul dapat menjamin kehidupan masyarakat yang sejahtera, yaitu kualitas kehidupan yang aman dan bahagia karena terpenuhinya kebutuhan material dan non-material yang meliputi: gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, pendapatan yang memadai untuk hidup secara layak, serta aman dari resiko atau ancaman fisik dan psikis.


*Penulis adalah Pamong Belajar BP-PAUD dan DIKMAS Papua

Komentar